Minggu, 14 Agustus 2011

Bias Cinta Terkikis



Mentari pagi masih belum berani menampakkan sayapnya. Ibu sudah bangun pagi dan melakukan rutinitas pagi selayaknya ibu rumah tangga seperti biasanya. Hari ini masih hari libur panjang, rutinitas bersekolah yang biasanya ku benci kali ini malah aku benar-benar merindukannya. Maklumlah liburnya panjang benar. Aku baru kelas 1 SMA. Itu aja aku belum masuk sekolah alias baru diterima di SMA.
Kembaliku berjalan menyusuri tempat yang kotor dan bau. Dengan hati-hati menyusuri jalan setapak yang keriting. Sehingga kami harus melompat-melompat menghindari lubang-lubang becek yang kotor dan basah. Menyusuri jalan-jalan kecil yang sempit tapi banyak sekali orang yang masih mau berdesak-desakan. Terutama bagi mereka yang ingin barang bagus dan murah. Seakan-akan sudah biasa dan tanpa perduli dengan keadaan di bawah, mereka masih melanjutkan aktivitas masing-masing. Jual-beli menjadi sangat marak dibarengi dengan manusia yang berlalu lalang di dalam pasar.
“beli apa sih bu?”
“Ya beli bumbu dan ikan buat makan siang nanti”. “Nanti belok ke toko kaset ya bu? Aku mau beli kaset baru, kan pingin banget nonton film di rumah” ku giring motor gran buntut milik ayahku ke tempat parkiran motor yang terdapat di belakang pasar.
ibu sangat mengerti apa yang aku inginkan. Aku memang sedikit menyinggung tentang permintaanku pada DVD.” Ron..Andaikan kita punya Dvd ya tak pinjemkan kaset DVD yang banyak. Temenku kan punya film-film bagus. Tetapi sayangnya sih kaset DVD. Lha wong punya kita masih CD ”, ”iya mas, kalau kaset DVD itu harus dimainkannya di DVD ya, kan sama-sama kaset bentuknya aja sama”, “iya to ya, lha wong dah dicoba tapi tetep aja gak jalan kok”. Saat itu yang lagi tenar adalah film Laskar Pelangi. Aku sih belum nonton, tapi kelihatannya bagus.
Suara burung yang biasanya riuh meramaikan suasana rumah tapi kali ini kicauannya tak terdengar lagi. Seakan ikut dalam kesunyian siang hari yang panas. Semua orang lelap dalam kesunyan ini. Burung itu milik ibuku. Entah darimana ibu bisa mempunyai hobi memelihara burung itu. Bahkan ayahku tidak terlalu suka dengan burung. Walau sudah beberapa kali gagal mempertahankan burung itu(ibu pernah memelihara burung dari kecil tapi sudah mati karena dimakan penyakit), padahal ibuku terkenal sangat sayang pada burung cendet itu. Selain burung cendet ibu juga mempunyai burung beo yang bisanya Cuma berkeok koekk, ya seperti ayam yang lagi kelaparan aja. Biasanya burung beo ditaruh di luar rumah di dalam kandang besi. Mungkin ini sebabnya burung beo itu selalu berkokok seperti ayam. Mungkin masih banyak lagi peliharaan ibu yang tidak mungkin  ku perkenalkan satu-persatu.
“assalamualaikum” terdengar orang mengucapkan salam dari luar rumah. “waalaikumsalam” ku bergegas menuju pintu keluar. “Ibunya ada dek” ternyata seorang pria muda mungkin teman pedagang ibu. Ibu juga pedagang pasar, di pasar biasanya ibu menjual bumbu-bumbu dapur dan kacang tanah. Kacang tanah dibeli pagi-pagi sekali dengan berebutan dengan pedagang lain. Siapa cepat ya di dapat. Makanya, biar tidak ketinggalan mendapat kacang tanah, pagi-pagi sekali ibu sudah mengantri di depan pasar menunggu mobil pengangkut kacang. “Kalau tidak dapat kacang ya tidak ada bahan dagangan”,celoteh ibu kepada kami. Sambil menengok ke dalam rumah ku bilang “ada mas, tak panggil dulu nggih”. Ku menuju dapur dan menggantikan ibu memasak. “ada tamu bu, tak gantikan memasak”. Sebenarnya aku gak jago memasak sih. Tapi bisa lah kalo dikit-dikit. Tapi masalahnya aku kurang bisa menentukan takaran bumbu yang pas untuk masakan ibu ini. Jadi masakanku tidak bisa menandingi masakan ibu yang sangat pas rasanya.
Ibu biasanya mengobrol panjang lebar tentang burung dengan temannya itu. Tetapi kali ini kelihatannya sangat serius. Berbeda dengan biasanya, tamunya ibu itu berniat untuk membeli salah satu burung yang terkenal sangat bagus kicaunya. Burung itu mempunyai harga paling mahal diantara burung lainnya. Burung berjenis murai batu itu ditawar sekitar 500 ribu lebih. “Waduh mahal amat” celotehku. Tapi harga itu tidak sebanding dengan kegemaran ibu kepada burung murai yang memang menurutku memang sangat bagus kicauannya. Berbeda dengan burung-burung lainnya. Burung murai itu mendapat perlakuan yang istimewa dengan sangkar khusus yang sangat besar. Berdiameter sekitar satu meter agar ekornya tidak rusak ketika berterbangan kemana-mana. Tidak lupa kalau tiap matahari bersinar ibuku selalu memandikan burung murai batu itu di bawah teriknya matahari pagi. Sehingga bulu yang berwarna warni telihat berkilauan bermandikan sinar mentari.
***
Saat mentari terbit dari timur, embun pagi menetes melewati sela-sela dedaunan hijau. Nyanyian burung bersahut-sahutan terasa mengusik tiap hembusan nafas ini. Dengan sedikit malas ku buka mata perlahan. Dengan mengucek-kucek mata sambil berjalan menuju belakang. Semilir angin dingin seakan menghentikan laju langkahku. Aku sempat melihat jam. “Hah sudah jam 5.30!”pikirku. Segera aku sholat subuh.
Belum hilang rasa kantukku aku sudah harus mandi dan bergegas berangkat sekolah.
Dengan terburu-buru kuambil baju yang sudah kupersiapkan. Kemeja putih dan didampingi celana panjang abu-abu. Cukup rapi, tinggal menyiapkan tas dan sepatu.
“Bu! Pak! mau berangkat sekolah dulu ya. Assalamualaikum” dengan berjalan cukup santai aku melaju sengan ringan. Setelah melaju beberapa saat, tiba-tiba terdengar suara dari depan jalan memanggil namaku.
“Nang, tunggu sebentar”, datang sesosok berseragam melaju dengan cepat dengan membawa sepeda gunung. Ternyata itu agung teman sejak SD tapi berbeda SMP. Kita bertetangga sekitar sepuluh rumah dengan rumahku.
Sesampainya di sekolah kami langsung digiring ke temat yang berbeda-beda dan disuruh berkumpul dengan teman sekelasku karena dari awal aku sudah ditanya oleh kakak kelas ”kamu kelas berapa dek?”. “Kelas 10-1 Kak”. Lalu aku digiring ke lapangan yang letaknya di pojok sekolah. “sekarang kalian berlatih baris-berbaris!” perintah kakak pendamping kelasku. Dia bertugas memimpin dan mengkoordinasi kami sekelas untuk berlatih disiplin dan Pelatihan Baris Berbaris.
Aku sebenarnya juga sedang menatap jauh dengan pandangan kosong. Tertuju ke sesosok gadis. Sepertinya dia lebih tua dariku. Dia sedang mengamati sekeliling lapangan dengan pandangan penasaran. Ternyata dia seperti mencari seseorang. Entah dengan ekspresi gelisah seperti itu aku malah tertegun melihatnya. Dia seperti memenuhi perhatinku dalam beberapa menit terakhir. Dia sepertinya kecewa karena tidak menemukan yang dia cari. Entah dalam pikiranku tiba-tiba aku ingin menanyakan “mbak, sedang mencari siapa? Kalau boleh tahu kalau tidak keberatan aku bisa membantu”. Lenyaplah dia dari pandanganku dan hilanglah pula khayalan indahku dari sosok yang mengisi pikiranku beberapa saat itu.
Sesosok perempuan bersikap tegas dengan ekspresi wajah dingin dan tegang menuju di depan barisan. Serentak setiap pemimpin dalam setiap barisan siswa baru memberikan hormat. Serentak suasana menjadi sangat hening dan tegang ketika dia memperkenalkan diri sebagai komandan pleton. Komandan pleton dapat dikatakan sebagai pemimpin dari komandan yang memimpin tiap kelas. Dilihat dari wajahnya aja menakutkan, ditambah suara lantangnya yang menambah sangarnya sosok srikandi gagah itu. “Hai kamu yang disana!” teriak perempuan itu kearahku. Sontak aku sangat kaget setengah mati. Aku yang sedari tadi sibuk dengan pelatihan baris-berbaris di kelompok barisanku disuruh untuk maju kedepan lapangan. Aku melaju dengan ragu tapi akhirnya aku dengan tegas melangkah ke depan lapangan. “Kamu tahu pagi ini kesalahanmu apa?”. Aku cuma diam.
Ditambah lagi aku harus menerima hukuman karena salah dalam melakukan PBB(Pelatihan Baris Berbaris) aku mendapatkan hukuman 20 push up sungguh menjengkelkan. Terik panas matahari seperti memeluk seluruh tubuhku. Keringat yang keluar dari raga ini tanpa terasa mengalir terus tak berhenti. Tiba-tiba kepalaku terasa sangat berat. Tanganku pun terasa sangat berat dan kaku. Pandanganku kabur dan terasa seperti mengantuk. Aku lupa sejenak dan merasa seperti sangat pusing, pusing sekali. “Kak, ada yang pingsan!” teriak salah satu temanku dan seluruh orang mengerubungiku. Hanya itu yang terakhir kulihat setelahnya aku pingsan.
Aku membuka mata dengan pelan-pelan. Meski terasa berat tetap kupaksakan untuk melihat sesosok wanita cantik yang mengambil minuman dan menuruhku untuk tetap istirahat. “Kamu tidak usah ikut ospek dulu kalau masih merasa sakit”. “baik kak, kakak siapa?”. “Namaku Atik” wah nama yang bagus. Ternyata dia itu gadis cantik yang tadi sedang di pinggir lapangan yang gelisah mencari seseorang. Tiba-tiba aku merasa ingin menanyakan kepadanya tetapi entah mengapa aku tidak bisa. Kami hanya menanyakan sesuatu yang ringan yang kesannya hanya basa-basi saja. Pada saat itu juga menjadi awal aku dan atik menjadi akrab. Kami seakan berjodoh ketika harus ertemu dalam berbagai kegiatan sekolah, tak ada kepastian dariku pada waktu itu. Saat dia pertanyakan tentang hal itu, saat itu juga aku tenggelam pada sebuah penyesalan yang amat dalam. Seperti ada rasa bersalah dalam hidupku. Penyesalan itu sampai merasuk jauh kedalam hatiku. Ketika sekarang dia telah menjauh dari sisiku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar