Para penumpang bus memandang penuh simpati ketika wanita muda
berpenampilan menarik dan bertongkat putih itu dengan hati-hati menaiki
tangga. Dia membayar sopir bus, lalu dengan tangan meraba-raba kursi,
dia berjalan menyusuri lorong sampai menemukan kursi yang tadi dikatakan
kosong oleh si sopir. Kemudian dia duduk, meletakkan tasnya di
pangkuannya dan menyandarkan tongkatnya pada tungkainya.
Setahun
sudah lewat sejak Susan, 24 tahun, menjadi buta. Gara-gara salah
diagnosa dia kehilangan penglihatannya dan tiba-tiba terlempar ke dunia
yang gelap gulita, penuh amarah, frustasi dan rasa kasihan pada
sendiri. Sebagai wanita yang sangat independen, Susan merasa terkutuk
oleh nasib mengerikan yang membuatnyakehilangan kemampuan, tak berdaya
dan menjadi beban bagi semua orang di sekelilingnya, "Bagaimana mungkin
ini bisa terjadipadaku?" Dia bertanya-tanya, hatinya mengeras karena
marah. Tetapi, betapapun seringnya dia menangis atau menggerutu atau
berdoa, dia mengerti kenyataan yang menyakitkan itu - penglihatannya
takkan pernah pulih lagi.
Depresi mematahkan semangat
Susan yang tadinya selalu optimis. Mengisi waktu seharian kini
merupakan perjuangan berat yang menguras tenaga dan membuatnya
frustasi. Dia menjadi sangat bergantung pada Mark, suaminya. Mark,
seorang perwira Angkatan Udara. Dia mencintai Susan dengan tulus.
Ketika istrinya baru kehilangan penglihatannya, dia melihat bagaimana
Susan tenggelam dalam keputusasaan. Mark bertekad untuk membantunya
menemukan kembali kekuatan dan rasa percaya diri yang dibutuhkan Susan
untuk menjadi mandiri lagi. Latar belakang militer Mark membuatnya
terlatih untuk menghadapi berbagai situasi darurat, tetapi dia tahu,
ini adalah pertempuran paling sulit yang pernah dihadapinya.
Akhirnya,
Susan merasa siap bekerja lagi. Tetapi, bagaimana dia bisa sampai
kekantornya? Dulu Susan naik bus, tetapi sekarang terlalu takut untuk
pergi ke kota sendirian. Mark menawarkan untuk mengantarnya setiap
hari, meskipun tempat kerja mereka terletak di pinggiran kota yang
bersebrangan. Mula-mula kesepakatan itu membuat Susan nyaman dan Mark
puas karena bisa melindungi istrinya yang buta, yang tidak yakin akan
bisa melakukan hal-hal yang paling sederhana sekalipun. Tetapi, Mark
segera menyadari bahwa pengaturan itu keliru, membuat mereka
terburu-buru dan terlalu mahal. Susan harus belajar naik bus lagi, Mark
menyimpulkan dalam hati. Tetapi baru berpikir untuk menyampaikan
rencana itu kepada Susan telah membuatnya merasa tidak enak. Susan
masih sangat rapuh, masih sangat marah. Bagaimana reaksinya nanti?
Persis seperti dugaan Mark, Susan ngeri mendengar gagasan untuk naik
bus lagi. "Aku buta!" tukasnya dengan pahit. "Bagaimana aku bisa tahu
ke mana aku pergi? Aku merasa kau akan meninggalkanku."
Mark
sedih mendengar kata-kata itu, tetapi dia tahu apa yang harus
dilakukan. Dia berjanji bahwa setiap pagi dan sore dia akan naik bus
bersama Susan, selama masih diperlukan, sampai Susan hafal dan bisa
pergi sendiri.
Dan itulah yang terjadi. Selama dua minggu
penuh, Mark mengenakan seragam militer lengkap mengawasi Susan ke dan
dari tempat kerja, setiap hari. Dia mengajari Susan bagaimana caranya
menggantungkan diri pada inderanya yang lain, terutama pendengarannya,
untuk menentukan di mana dia berada dan bagaimana beradaptasi dengan
lingkungan yang baru. Dia menolong Susan berkenalan dan berkawan dengan
sopir-sopir bus yang dapat mengawasinya dan menyisakan satu kursi
kosong untuknya. Dia membuat Susan tertawa, bahkan pada hari-hari yang
tidak terlalu menyenangkan ketika Susan tersandung waktu turun dari
bus, atau menjatuhkan tasnya yang penuh berkas di lorong bus.
Setiap
pagi mereka berangkat bersama-sama, setelah itu Mark akan naik taksi
ke kantornya. Meskipun pengaturan itu lebih mahal dan melelahkan dari
pada yang pertama, Mark yakin bahwa hanya soal waktu sebelum Susan
mampu naik bus tanpa dikawal. Mark percaya kepadanya, percaya kepada
Susan yang dulu dikenalnya sebelum wanita itu kehilangan
penglihatannya, wanita yang tidak pernah takut menghadapi tantangan
apapun dan tidak akan pernah menyerah.
Akhirnya, Susan
memutuskan bahwa dia siap untuk melakukan perjalanan itu seorang diri.
Tibalah hari Senin. Sebelum berangkat, Susan memeluk Mark yang pernah
menjadi kawannya satu bus dan sahabatnya yang terbaik. Matanya
berkaca-kaca, penuh air mata syukur karena kesetiaan, kesabaran dan
cinta Mark. Dia mengucapkan selamat berpisah. Untuk pertama kalinya
mereka pergi ke arah yang berlawanan.
Senin, Selasa, rabu,
Kamis, ..... Setiap hari dijalaninya dengan sempurna. Belum pernah
Susan merasa sepuas itu. Dia berhasil !!! Dia mampu berangkat kerja
tanpa dikawal. Pada hari Jum'at pagi, seperti biasa Susan naik bus ke
tempat kerja. Ketika dia membayar ongkos bus sebelum turun sopir bus
itu berkata, "Wah aku iri padamu!". Susan tidak yakin apakah sopir itu
bicara kepadanya atau tidak. Lagi pula, siapa yang bisa iri pada
seorang wanita buta yang sepanjang tahun lalu berusaha menemukan
keberanian untuk menjalani hidup? Dengan penasaran, dia bertanya kepada
sopir bus itu, "Kenapa kau bilang kau iri padaku?" Sopir itu menjawab,
"Kau pasti senang selalu dilindungi dan dijagai seperti itu." Susan
tidak tahu maksud sopir itu. Sekali lagi dia bertanya, Apa maksudmu?"
"Kau tahu, minggu kemarin, setiap pagi ada seorang pria tampan
berseragam militer berdiri di sudut jalan dan mengawasimu waktu kau
turun dari bus. Dia memastikan bahwa kau menyeberang dengan selamat dan
mengawasimu terus sampai masuk ke kantormu. Setelah itu, dia meniupkan
ciuman, memberi hormat ala militer, lalu pergi. Kau wanita yang
beruntung," kata sopir itu.
Air mata bahagia
membasahi pipi Susan. Karena meskipun secara fisik tidak dapat melihat
Mark, dia selalu bisa merasakan kehadirannya. Dia beruntung, sangat
beruntung karena Mark memberinya hadiah yang jauh lebih berharga dari
pada penglihatan, hadiah yang tak perlu dilihatnya dengan matanya untuk
meyakinkan diri - hadiah cinta yang bisa menjadi penerang dimanapun
ada kegelapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar